Penulis : Barack Obama
Penerbit : UFUK
Cet I : April 2007 / 526 hal
Harga : Rp. 99.900,-
Obama : Dari Jakarta Menuju Gedung Putih
Oleh : Muhammad Ja’far Peneliti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF),
Jakarta
Panggung politik
Amerika Serikat (AS) menyuguhkan sebuah fenomena anyar. Terutama terkait dengan
agenda pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Yaitu munculnya dua calon
presiden (Capres) yang kehadirannya akan menorehkan fakta baru dalam sejarah
politik negeri Paman Sam tersebut. Keduanya sama-sama berasal dari Partai
Demokrat dan akan bersaing menjadi capres dari partai tersebut di ajang
pemilihan presiden nanti. Tokoh capres yang pertama adalah Hillary Clinton.
Jika berhasil tampil sebagai presiden AS, isteri mantan Presiden AS terdahulu,
Bill Clinton ini akan menjadi presiden wanita pertama di AS. Adapun capres yang
kedua kini popularitasnya demikian meroket, yaitu Barack Obama. Tokoh yang satu
ini demikian energik, relatif muda, namun sangat visioner dan matang. Nilai
fenomenal Obama adalah pada fakta bahwa jika berhasil terpilih, Obama akan
menjadi presiden pertama AS dari kalangan kulit hitam. Cukup fenomenal dan
fantastis.
Fenomena diatas
demikian menarik, karena mengindikasikan geliat baru dalam jagad politik AS.
Lalu, fakta politik apa yang dapat kita tafsir dibalik fenomena baru tersebut?
Munculnya sosok Hillary, dalam perspektif tertentu, dapat diinterpretasikan
sebagai indikasi kerinduan rakyat AS pada kelembutan sentuhan ‘feminimitas’
dalam jagad politik negeri mereka. Sebab secara faktual, dibawah kepemimpinan
George W Bush dua periode terakhir ini, AS benar-benar menampakkan wajah
politik ‘maskulinnya’: garang, keras dan cenderung akrab dengan pendekatan
militeristik.
Lalu, tafsir apa yang bisa diajukan untuk memahami fenomena Obama? Sederhananya, apa daya tarik utama seorang Obama? Untuk memahami fenomena Obama, tentu ada banyak sudut pandang yang bisa digunakan. Dan sangat mungkin sekali, kesimpulan yang didapat tidak sama. Atau mungkin saling melengkapi dan mendukung. Satu dari beberapa perspektif yang bisa digunakan mungkin bisa didapat dengan menjadikan buku karya Obama yang diterbitkan penerbit Ufuk ini sebagai peta petunjuk. Sebab dengan meninjau bukunya, kita bisa mendapatkan beberapa informasi, persepsi serta perspektif tentang si penulis yang bernama lengkap Barack Hussein Obama.
Lalu, tafsir apa yang bisa diajukan untuk memahami fenomena Obama? Sederhananya, apa daya tarik utama seorang Obama? Untuk memahami fenomena Obama, tentu ada banyak sudut pandang yang bisa digunakan. Dan sangat mungkin sekali, kesimpulan yang didapat tidak sama. Atau mungkin saling melengkapi dan mendukung. Satu dari beberapa perspektif yang bisa digunakan mungkin bisa didapat dengan menjadikan buku karya Obama yang diterbitkan penerbit Ufuk ini sebagai peta petunjuk. Sebab dengan meninjau bukunya, kita bisa mendapatkan beberapa informasi, persepsi serta perspektif tentang si penulis yang bernama lengkap Barack Hussein Obama.
Judul asli buku
ini adalah The Audacity of Hope; Thoughts on Reclaming The Americam Dream. Pada
edisi Indonesianya, dipilih judul Barack Obama: Menerjang Harapan; Dari Jakarta
Menuju Gedung Putih. Secara kategoris, substansi buku ini dapat dipilah menjadi
beberapa aspek:
Pertama, buku ini semacam memoar sang penulis, dimana
didalamnya ia menuturkan sebagian dari kisah perjalanan hidupnya. Obama
menuliskan bagian ini dengan cukup baik. Gaya tuturnya perlahan-perlahan, namun
menyiratkan kepastian yang mendalam. Dalam menceritakan relung terdamlam dari
ruang pribadinya, tampak sekali bahwa sosok yang satu ini jauh lebih matang
dari umurnya. Yaitu bagaimana statusnya sebagai seorang suami bagi Michelle,
sang istri; perannya bagi anak-anaknya serta juga posisinya diantara keluarga
besarnya. Satu hal yang cukup menarik dari kehidupan Obama adalah fakta bahwa
pria yang satu pernah berdomisili di Jakarta, Indonesia. Tepatnya di daerah
Menteng selama kurang lebih empat tahun. Ketika itu Obama berusia 6 tahun.
Ibunya bercerai, dan kebetulan menikah kembali dengan pria Indonesia yang
bersekolah di Amerika dan keduanya kemudian pindah ke Jakarta. Pada awal bab
buku ini, dibawah judul Dunia Di Luar Tapal Batas Kita, para pembaca disuguhkan
dengan cerita pertualangan Obama kecil bersama-sama teman Indonesianya. Secara
lebih luas, Obama kemudian merefleksikan pengalamannya semasa di Indonesia,
dengan sebuah padangan yang cukup mendalam dan matang. Disini, kekuatan
refleksinya tampak jelas.
Kedua, selain sebagai guratan kenangan akan perjalanan
hidupnya, buku ini juga merupakan dokumentasi atas hasil refleksi Obama dalam
menyikapi berbagai problematika yang dihadapi serta harapan yang didambanya.
Buku ini secara umum merupakan hasil refleksi atas tiga dimensi kehidupannya:
pertama, dimensi kehidupan pribadinya. Kedua, dimensi pada tingkat negara.
Hasil refleksi Obama atas berbagai fenomena yang dihadapi dan dilihatnya di
negaranya. Baik mencakup aspek sosial, budaya, politik dan juga ekonomi.
Ketiga, dimensi pada tingkat global. Wawasan globalnya, cukup luas dan relatif
tidak terlalu dangkal. Kita dapat melihat ketajaman visi tokoh muda ini dalam
memahami dan menyikap fenomena global dengan berbagai problematika yang
diidapnya.
Ketiga, pada saat yang sama, sebuah memoar dan catatan
reflektif seseorang, mencakup juga didalamnya sebuah garis visioner dari
pandangan atau pemikiran-pemikiran nya. Baik mencakup satu aspek kehidupan,
maupun beragam. Di buku ini, baik langsung maupun tidak, kita akan menangkap
visi Obama tentang tata kehidupan bernegara, berbangsa dan juga tata kehidupan
pada tingkat global. Bagaimana Obama melihat dan memahami berbagai persoalan
tersebut serta apa solusi yang ditawarkan. Buku ini sedikit banyak akan
memberikan kita jawaban.
Dengan melongok
pada kedalaman buku ini, salah satu kesan yang dapat kita tangkap tentang
penulisnya adalah bahwa ia seorang politisi yang visioner, berwawasan luas dan
menganut pandangan politik yang bisa dikategorikan moderat. Disini Obama
mengankat berbagai isu dan tema, mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya
hingga persoalan keagamaan. Obama lalu melontarkan pemahaman, pandangan serta
visinya tentang persoalan-persoalan tersebut. Namun menariknya, Obama mengemas
semua itu dalam bentuk narasi yang cukup ringan, namun sebenarnya memiliki
bobot intelektual yang mendalam. Sehingga secara tidak langsung, pembaca diajak
berkenalan dengan pikiran dan sikap-sikap si penulisnya.
Bagi publik AS, buku ini ibarat media untuk mengenali Obama secara lebih konkret dan komprehensif. Baik pribadi maupun visinya. Bahwa buku ini merupakan salah satu media Obama dalam berkampanye, jelas hal itu tidak dapat dipungkiri. Tapi lebih dari itu, buku ini adalah sebuah karya intelektual. Pandangan-pandangan yang dituliskan dialamnya, bukan pada level rendah sebuah kampanye murahan. Setidaknya, jika ini dianggap sebagai cara seseorang untuk memperkenalkan atau mempromosikan dirinya secara politis. Maka Obama telah melakukannnya dengan cara yang sangat elegan, meyakinkan dan menyiratkan kapasitas intelektualnya yang memadai.
Bagi publik AS, buku ini ibarat media untuk mengenali Obama secara lebih konkret dan komprehensif. Baik pribadi maupun visinya. Bahwa buku ini merupakan salah satu media Obama dalam berkampanye, jelas hal itu tidak dapat dipungkiri. Tapi lebih dari itu, buku ini adalah sebuah karya intelektual. Pandangan-pandangan yang dituliskan dialamnya, bukan pada level rendah sebuah kampanye murahan. Setidaknya, jika ini dianggap sebagai cara seseorang untuk memperkenalkan atau mempromosikan dirinya secara politis. Maka Obama telah melakukannnya dengan cara yang sangat elegan, meyakinkan dan menyiratkan kapasitas intelektualnya yang memadai.
Bekal intelektualitasnya, menempatkan Obama sebagai bukan sekedar politisi yang hanya sekedar terobsesi dengan kekuasaan. Obama seakan menjanjikan sebuah kepemimpinan yang ditopang oleh visi dan karakter kuat, bukan semata popularitas dan ambisi. Ini adalah nuansa serta cita kepemimpinan yang sudah agak lama tidak dirasakan oleh rakyat AS. Sehingga dalam batas tertentu, rakyat AS kerap bernostalgia dengan karakter serta visi kepemimpinan yang pernah dibangun dan ditampilkan oleh tokoh-tokoh pemimpin besar negeri mereka dahulu kala: seorang pemimpin yang dibekali intelektualitas.
Jika demikian,
maka itu artinya bahwa fenomena Obama merepresentasikan aspirasi sebagian
rakyat Amerika pada terjadinya perubahan pada karakter kepemimpinan serta visi
politik negara tersebut. Fenomena Obama, dalam satu perspektif, bisa ditafsir
sebagai ekspresi keinginan kuat sebagian rakyat AS untuk kembali pada jalur
politik moderat, karakter kepemimpinan yang kuat serta ditopang oleh visi yang
matang. Bukan kepemimpinan yang konservatif, radikal dan tidak dibekali dengan
visi yang matang, sebagaimana ditampilkan kepemimpinan George W. Bush.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar